Saturday, April 21, 2012

Metode Hisab


Dengan ditempatkan sebagai acuan perhitungan kalender, siklus peredaran Bulan dan Matahari itu logisnya harus bersifat eksak, dan nyatanya memang demikian. Al-Qur'an (ar-Rahman ayat 5) menegaskan: "Asy-syamsu wal-qamaru bihusban" (Matahari dan Bulan beredar dengan perhitungan), dan hasil penyelidikan ilmu pengetahuan membenarkan hal itu. Konsekuensi logisnya -karena peredaran Bulan dan Matahari bersifat eksak- adalah bahwa penyusunan kalender yang mengacu kepada peredaran kedua benda langit tersebut tentu bisa dilakukan dengan hisab atau perhitungan.

Dengan observasi atau rukyat yang cermat dan berulang-ulang terhadap posisi benda-benda langit, manusia telah mengetahui ihwal peredaran benda-benda langit yang eksak itu beserta lintasannya. Observasi seperti itu telah dilakukan oleh bangsa Babilonia yang berada di antara sungai Tigris dan sungai Efrat (selatan Irak sekarang) pada kurang-lebih 3.000 tahun sebelum Masehi. Mereka sudah menemukan dua belas gugusan bintang-bintang (zodiak) di langit yang posisinya mereka bayangkan membentuk satu lingkaran. Setiap gugusan bintang akan berlalu setelah 30 hari. Penemuan mereka itu akhirnya melahirkan ilmu geometri dan matematika, ilmu ukur dan ilmu hisab (hitung).

Ilmu perbintangan bangsa Babilonia itu kemudian dibawa oleh pedagang-pedagang dari Tunisia ke Yunani. Di antara orang Yunani yang kemudian dikenaI ahli dalam ilmu perbintangan (astronomi) dan geografi adalah Claudius Ptolemaeus (100-178 M.). Selanjutnya bangsa Arab mengambil alih ilmu perbintangan tersebut dari Yunani. Selama beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M.), yakni pada zaman gemilangnya imperium Arab, kekayaan ilmu dari Yunani itu dikaji, diterjemahkan, dan disajikan kembali dengan tambahan-tambahan komentar yang penting. Buku peninggalan Claudius Ptolemaeus yang disalin ke dalam bahasa Arab dinamakam Ptolemy’s Almagest (magest yang artinya ”usaha yang paling besar” adalah kata-kata Yunani yang diarabkan dengan imbuhan "al")

Salah seorang ulama Islam yang muncul sebagai ahli ilmu falak terkemuka adalah Muhammad bin Musa al-khawarizmi (780-850). Dialah pengumpul dan penyusun daftar astronomi (zij) yang tertua dalam bentuk angka-angka (sistem perangkaan Arab diperoleh dari India) yang di kemudian hari termasyhur dengan nama daftar algoritmus atau daftar logaritma. Daftar logaritma al-Khawarizmi ini ternyata sangat menentukan dalam perkiraan astronomis, sehingga ia berkemhang sedemikian rupa di kalangan (sarjana astronom, mengalahkan teori-teori astronomi serta hisab Yunani dan India yang telah ada, dan bahkan berkembang sampai ke Tiongkok.

Dari bangsa Arab, ilmu falak kemudian menyebrang ke Eropa, dibawa oleh bangsa Eropa yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba. Muncullah di Eropah Nicolas Copernicus (1473-1543), ahli ilmu falak dari Polandia yang mencetuskan teori heliosentris yang masih digunakan sampai sekarang. Selanjutnya, dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564-1642) yang menguatkan teori Nicolas Copernicus, ilmu falak kian maju lebih jauh lagi.

Penguasaan ulama Islam terhadap ilmu falak telah memungkinkan mereka untuk melakukan penyusunan kalender berdasarkan hisab. Karena ini fenomena baru, maka ramailah perbincangan mengenai soal itu dari sudut hukum Islam (fiqh). Di tengah kontroversi boleh tidaknya berpedoman pada hisab, sejumlah fuqaha seperti lbnu Banna, Ibnu Syuraih, al-Qaffal, Qadi Abu Taib, Mutraf, lbnu Qutaibah, lbnu Muqatil ar-Razi, Ibnu Daqiqil ‘Id, dan as-Subki, membolehkan penggunaan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.

Metode Hisab
a.Hisab Urfi
b. Hisab Hakiki
- Taqribi
- Tahqiqi
- Kontemporer