Hisab sebagai Penyempurna Rukyah
Dalam konteks penentuan awal
bulan qamariyah, maka yang dimaksudkan dengan rukyah adalah rukyatulhilal.
Rukyah dalam bahasa arab sepatah kata isim berbentuk masdar dari fi’il يَرَى- رَأَى berarti أَبْصَرَ, melihat dengan mata kepala.
Diartikan melihat dengan mata kepala tentu objek lihat (maf’ul bih) adalah
sesuatu yang tampak.
Contoh QS Al-An’am (6): 76-78
...رَأَى كَوْكَبًا … melihat bintang (a. 76)
…رَأَى اْلقَمَرَ … melihat bulan (a. 77)
…رَأَى الشَّمْسَ … melihat matahari (a. 78)
Contoh dalam Hadits:
اِذَا رََأَيْتُمُ
اْلهِلاَلَ apabila kamu sekalian melihat
hilal… (HR. Muslim)
Jadi rukyah yang dikaitkan
dengan hilal dalam mafhumul ayat QS. Al-Baqarah (2):189 dan yang disebut dalam
lebih dari 20 hadits adalah “melihat hilal dengan mata kepala”.
Jelasnya rukyatul hilal adalah
sistem penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal
bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan cara melaksanakan
pengamatan/observasi hilal di lapangan secara langsung, baik dengan mata
telanjang maupun dengan alat, pada tanggal 29 malam 30 dari bulan yang sedang
berjalan. Apabila hilal terlihat, maka bulan baru telah datang, dan apabila
hilal tidak terlihat, maka bulan baru diawali malam berikutnya (istikmal).
Setelah
hisab masuk dalam kalangan Islam, maka berkembang pemikiran terhadap makna
rukyah. Sebagian ahli hisab memaknai rukyah dengan makna melihat dengan pikiran
dan melihat dengan hati. Alasannya:
1.
Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية
dapat diartikan أدرك / علم, yakni memahami/melihat dengan akal
pikiran (tentang wujudulhilal).
2.
Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni menduga/yakin / berpendapat/melihat dengan
hati (tentang wujudul hilal).
Dua makna yang terakhir ini
dipegangi oleh sebagian ahli hisab. Sehingga mereka berpendapat hisab adalah
sistem alternatif untuk penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan
Ramadlan, awal Bulan Syawal, dan awal Bulan Dzulhijjah.
Pendapat sebagian ahli hisab ini
perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab:
1.
Ra-a
(رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب
/ ظنّ itu, masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut
dalam hadits adalah رؤية
2.
Oleh
karena itu yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته (karena
melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (karena memahami,
menduga, meyakini, berpendapat adanya hilal)
3.
Ra-a (رأى)
yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab, maf’ul
bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:
أرءيت الذى يكذب بالدين
“Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Mâ’ûn [107]: 1)
Sedangkan
ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu
hilal, seperti:
اذا رايتم الهلال فصوموا...
“Apabila
kamu melihat hilal maka berpuasalah…” (HR. Muslim)
4.
Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab mempunyai 2
maf’ul bih (obyek). Contoh:
انهم يرونه بعيدا
“Sesungguhnya
mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 6), dan
ونره قريبا
“Sedangkan
kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).” (QS.
Al-Ma’ârij [70]:7).
Adapun yang dimaksud ra-a
(rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya satu. Contohnya seperti pada
hadits nomor 3 dan contoh:
صوموا لرؤيته ...
“..berpuasalah kalian karena
terlihat hilal…” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Ahli hisab sering mendukung
argumentasinya dengan mengemukakan kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam
hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya
perkirakanlah. Argumen ini tidak tepat karena:
a. Dalam hadits lain riwayat
Muslim terdapat ungkapan faqdurûlahu tsalatsîna (فاقدرواله
ثلاثين), artinya: “Maka kadarkan (tentukan) lah padanya 30 (hari).”
Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan bagi hadits riwayat
Bukhari-Muslim tersebut.
b. Faqdurû adalah
bentuk amr dari fi’il madli qadara dan memiliki banyak arti: sanggupilah,
kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah,
persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah, bagilah, tentukanlah, takdirkanlah,
persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti yang lain. Arti yang demikian
banyak ini menjadi sulit untuk diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan
tujuan hadits tentang puasa Ramadlan.
Menurut ahli ushul Kata faqdurû
disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan
mencarikan kata mufassar (pasti artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah)
sebagaimana dalam hadits Nabi SAW:
فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh.” (HR. Bukhori dan
Muslim).
Dengan
demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan faqdurûlahu dalam hadits
riwayat Bukhori dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah
bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh”
6.
Rukyah / رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau
penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30”.
Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang diartikan أدرك/ علم dan حسِب / ظنّ
Dengan
koreksi ini, maka kita lebih yakin, bahwa makna yang tepat bagi rukyah / رأى yang dimaksud
dalam hadits-hadits adalah “melihat dengan mata kepala/pengamatan langsung
terhadap hilal”. Jadi arti dan maksud rukyatul hilal
adalah melihat dengan mata kepala/mengamati secara langsung/observasi terhadap
penampakan bulan sabit, tidak dapat dimaksudkan melihat dengan akal dan melihat
dengan hati.
Rukyah adalah ibu yang
melahirkan hisab. Tanpa rukyah hisab akan mandeg, bahkan mustahil adanya. Jadi
rukyah itu ilmiah.
Meskipun Islam membuka luas
cakrawala pengembangan pemikiran keIslaman, namun harus segera diingatkan,
bahwa manusia secerdas apapun tidak akan mampu menyamai wahyu. Islam dibangun
atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Dalam pandangan
Islam, ilmu pengetahuan sangat bermanfaat untuk kesempurnaan memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam.
Ilmu hisab dapat digunakan untuk
kesempurnaan memahami, menghayati dan mengamalkan nash tentang rukyatul hilal.
Atas dasar prinsip ini maka:
1.
Definisi
hilal dan rukyah sebagaimana dipaparkan di muka, dijadikan sebagai landasan
dalam mencari solusi atas perbedaan dan untuk menetapkan kriteria awal bulan.
2.
Atas dasar
landasan tersebut maka perlu ada kesepakatan metode hisab yang akan digunakan
untuk penentuan kriteria imkanur rukyah.
3.
Kriteria
imkanur rukyah itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti nash yang bertalian
dengan rukyah.
Dalam pada itu, hak itsbat awal
bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah sepenuhnya berada di tangan
Negara/pemerintah yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri Agama.
Itsbat Menteri Agama yang
didasarkan pada rukyah dan hisab sebagaimana rekomendasi MUI mengikat dan
berlakau bagi umat Islam secara nasional. Oleh karena itu ormas Islam
diharapkan tidak mengeluarkan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal dan
Dzulhijjah mendahului itsbat pemerintah sehingga merisaukan umat.
KH A Ghazalie Masroeri