Thursday, April 26, 2012

Awal bulan Berbagai Kreteria 1


Awal Bulan Menurut Berbagai Kriteria
Bagian Pertama


  1. Kriteria Rukyat Hilal ( Teori Visibilitas Hilal )
         Teori Visibilitas Hilal terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilal global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania.
         Berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilal yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilal hanya mungkin bisa dirukyat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4° (sebelumnya 7°) yang dikenal sebagai "Limit Danjon".
         Kurva Visibilitas Hilal sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilal baru mungkin dapat dirukyat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°.
         Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.

  1. Kriteria Hisab Imkanur Rukyat
         Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanurrukyat yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada  Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :  
         Hilal dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
         (1)· Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
         (2). Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau 
         (3)· Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku. 
         Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan masih mengakui  kesaksian rukyat asalkan ketinggiannya di atas batas yang disebutnya sebagai imkanurrukyat 2° bahkan hanya dengan mata telanjang. Sementara dalam penyusunan kalendernya NU juga menggunakan kriteria hisab imkanurrukyat 2° tanpa syarat elongasi dan umur Hilal.

  1. Kriteria Hisab Wujudul Hilal
         Ada organisasi lain dalam penyusunan kalender Hijriyah baik untuk keperluan sosial maupun ibadahnya menggunakan kriteria yang dinamakan "Hisab Hakiki Wujudul Hilal". Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan Hijriyah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:
1) telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
         Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Atau dalam bahasa sederhanya dapat diterjemahkan sebagai berikut:
         "Jika setelah terjadi ijtimak, Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari maka malam itu  ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian Bulan saat Matahari terbenam".

Saturday, April 21, 2012

Hisab Penyempurna Rukyah

Hisab sebagai Penyempurna Rukyah


Dalam konteks penentuan awal bulan qamariyah, maka yang dimaksudkan dengan rukyah adalah rukyatulhilal. Rukyah dalam bahasa arab sepatah kata isim berbentuk masdar dari fi’il يَرَى- رَأَى berarti أَبْصَرَ, melihat dengan mata kepala. Diartikan melihat dengan mata kepala tentu objek lihat (maf’ul bih) adalah sesuatu yang tampak.
Contoh QS Al-An’am (6): 76-78
...رَأَى كَوْكَبًا … melihat bintang (a. 76)
رَأَى اْلقَمَرَ … melihat bulan (a. 77)
رَأَى الشَّمْسَ … melihat matahari (a. 78)

Contoh dalam Hadits:
اِذَا رََأَيْتُمُ اْلهِلاَلَ apabila kamu sekalian melihat hilal… (HR. Muslim)
Jadi rukyah yang dikaitkan dengan hilal dalam mafhumul ayat QS. Al-Baqarah (2):189 dan yang disebut dalam lebih dari 20 hadits adalah “melihat hilal dengan mata kepala”.

Jelasnya rukyatul hilal adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan cara melaksanakan pengamatan/observasi hilal di lapangan secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat, pada tanggal 29 malam 30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila hilal terlihat, maka bulan baru telah datang, dan apabila hilal tidak terlihat, maka bulan baru diawali malam berikutnya (istikmal).

Setelah hisab masuk dalam kalangan Islam, maka berkembang pemikiran terhadap makna rukyah. Sebagian ahli hisab memaknai rukyah dengan makna melihat dengan pikiran dan melihat dengan hati. Alasannya:
1.      Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan أدرك / علم, yakni memahami/melihat dengan akal pikiran (tentang wujudulhilal).
2.      Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni menduga/yakin / berpendapat/melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).

Dua makna yang terakhir ini dipegangi oleh sebagian ahli hisab. Sehingga mereka berpendapat hisab adalah sistem alternatif untuk penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal Bulan Syawal, dan awal Bulan Dzulhijjah.

Pendapat sebagian ahli hisab ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab:
1.      Ra-a (رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب / ظنّ itu, masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut dalam hadits adalah رؤية
2.      Oleh karena itu yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته (karena melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (karena memahami, menduga, meyakini, berpendapat adanya hilal)
3.      Ra-a (رأى) yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab, maf’ul bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:
أرءيت الذى يكذب بالدين
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Mâ’ûn [107]: 1)
Sedangkan ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal, seperti:
اذا رايتم الهلال فصوموا...
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah…” (HR. Muslim)
4. Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab mempunyai 2 maf’ul bih (obyek). Contoh:
انهم يرونه بعيدا
Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 6), dan
ونره قريبا
Sedangkan kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).(QS. Al-Ma’ârij [70]:7).
Adapun yang dimaksud ra-a (rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya satu. Contohnya seperti pada hadits nomor 3 dan contoh:
صوموا لرؤيته ...
“..berpuasalah kalian karena terlihat hilal…” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Ahli hisab sering mendukung argumentasinya dengan mengemukakan kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya perkirakanlah. Argumen ini tidak tepat karena:
a. Dalam hadits lain riwayat Muslim terdapat ungkapan faqdurûlahu tsalatsîna (فاقدرواله ثلاثين), artinya: “Maka kadarkan (tentukan) lah padanya 30 (hari).” Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan bagi hadits riwayat Bukhari-Muslim tersebut.
b. Faqdurû adalah bentuk amr dari fi’il madli qadara dan memiliki banyak arti: sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah, bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti yang lain. Arti yang demikian banyak ini menjadi sulit untuk diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan tujuan hadits tentang puasa Ramadlan. 

Menurut ahli ushul Kata faqdurû disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata mufassar (pasti artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah) sebagaimana dalam hadits Nabi SAW:
فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan faqdurûlahu dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh”
6. Rukyah / رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30”. Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang diartikan أدرك/ علم dan حسِب / ظنّ

Dengan koreksi ini, maka kita lebih yakin, bahwa makna yang tepat bagi rukyah / رأى yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah “melihat dengan mata kepala/pengamatan langsung terhadap hilal”. Jadi arti dan maksud rukyatul hilal adalah melihat dengan mata kepala/mengamati secara langsung/observasi terhadap penampakan bulan sabit, tidak dapat dimaksudkan melihat dengan akal dan melihat dengan hati.

Rukyah adalah ibu yang melahirkan hisab. Tanpa rukyah hisab akan mandeg, bahkan mustahil adanya. Jadi rukyah itu ilmiah.

Meskipun Islam membuka luas cakrawala pengembangan pemikiran keIslaman, namun harus segera diingatkan, bahwa manusia secerdas apapun tidak akan mampu menyamai wahyu. Islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan sangat bermanfaat untuk kesempurnaan memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam.

Ilmu hisab dapat digunakan untuk kesempurnaan memahami, menghayati dan mengamalkan nash tentang rukyatul hilal. Atas dasar prinsip ini maka:
1.      Definisi hilal dan rukyah sebagaimana dipaparkan di muka, dijadikan sebagai landasan dalam mencari solusi atas perbedaan dan untuk menetapkan kriteria awal bulan.
2.      Atas dasar landasan tersebut maka perlu ada kesepakatan metode hisab yang akan digunakan untuk penentuan kriteria imkanur rukyah.
3.      Kriteria imkanur rukyah itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti nash yang bertalian dengan rukyah.

Dalam pada itu, hak itsbat awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah sepenuhnya berada di tangan Negara/pemerintah yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri Agama.

Itsbat Menteri Agama yang didasarkan pada rukyah dan hisab sebagaimana rekomendasi MUI mengikat dan berlakau bagi umat Islam secara nasional. Oleh karena itu ormas Islam diharapkan tidak mengeluarkan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah mendahului itsbat pemerintah sehingga merisaukan umat.
KH A Ghazalie Masroeri

Metode Hisab


Dengan ditempatkan sebagai acuan perhitungan kalender, siklus peredaran Bulan dan Matahari itu logisnya harus bersifat eksak, dan nyatanya memang demikian. Al-Qur'an (ar-Rahman ayat 5) menegaskan: "Asy-syamsu wal-qamaru bihusban" (Matahari dan Bulan beredar dengan perhitungan), dan hasil penyelidikan ilmu pengetahuan membenarkan hal itu. Konsekuensi logisnya -karena peredaran Bulan dan Matahari bersifat eksak- adalah bahwa penyusunan kalender yang mengacu kepada peredaran kedua benda langit tersebut tentu bisa dilakukan dengan hisab atau perhitungan.

Dengan observasi atau rukyat yang cermat dan berulang-ulang terhadap posisi benda-benda langit, manusia telah mengetahui ihwal peredaran benda-benda langit yang eksak itu beserta lintasannya. Observasi seperti itu telah dilakukan oleh bangsa Babilonia yang berada di antara sungai Tigris dan sungai Efrat (selatan Irak sekarang) pada kurang-lebih 3.000 tahun sebelum Masehi. Mereka sudah menemukan dua belas gugusan bintang-bintang (zodiak) di langit yang posisinya mereka bayangkan membentuk satu lingkaran. Setiap gugusan bintang akan berlalu setelah 30 hari. Penemuan mereka itu akhirnya melahirkan ilmu geometri dan matematika, ilmu ukur dan ilmu hisab (hitung).

Ilmu perbintangan bangsa Babilonia itu kemudian dibawa oleh pedagang-pedagang dari Tunisia ke Yunani. Di antara orang Yunani yang kemudian dikenaI ahli dalam ilmu perbintangan (astronomi) dan geografi adalah Claudius Ptolemaeus (100-178 M.). Selanjutnya bangsa Arab mengambil alih ilmu perbintangan tersebut dari Yunani. Selama beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M.), yakni pada zaman gemilangnya imperium Arab, kekayaan ilmu dari Yunani itu dikaji, diterjemahkan, dan disajikan kembali dengan tambahan-tambahan komentar yang penting. Buku peninggalan Claudius Ptolemaeus yang disalin ke dalam bahasa Arab dinamakam Ptolemy’s Almagest (magest yang artinya ”usaha yang paling besar” adalah kata-kata Yunani yang diarabkan dengan imbuhan "al")

Salah seorang ulama Islam yang muncul sebagai ahli ilmu falak terkemuka adalah Muhammad bin Musa al-khawarizmi (780-850). Dialah pengumpul dan penyusun daftar astronomi (zij) yang tertua dalam bentuk angka-angka (sistem perangkaan Arab diperoleh dari India) yang di kemudian hari termasyhur dengan nama daftar algoritmus atau daftar logaritma. Daftar logaritma al-Khawarizmi ini ternyata sangat menentukan dalam perkiraan astronomis, sehingga ia berkemhang sedemikian rupa di kalangan (sarjana astronom, mengalahkan teori-teori astronomi serta hisab Yunani dan India yang telah ada, dan bahkan berkembang sampai ke Tiongkok.

Dari bangsa Arab, ilmu falak kemudian menyebrang ke Eropa, dibawa oleh bangsa Eropa yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba. Muncullah di Eropah Nicolas Copernicus (1473-1543), ahli ilmu falak dari Polandia yang mencetuskan teori heliosentris yang masih digunakan sampai sekarang. Selanjutnya, dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564-1642) yang menguatkan teori Nicolas Copernicus, ilmu falak kian maju lebih jauh lagi.

Penguasaan ulama Islam terhadap ilmu falak telah memungkinkan mereka untuk melakukan penyusunan kalender berdasarkan hisab. Karena ini fenomena baru, maka ramailah perbincangan mengenai soal itu dari sudut hukum Islam (fiqh). Di tengah kontroversi boleh tidaknya berpedoman pada hisab, sejumlah fuqaha seperti lbnu Banna, Ibnu Syuraih, al-Qaffal, Qadi Abu Taib, Mutraf, lbnu Qutaibah, lbnu Muqatil ar-Razi, Ibnu Daqiqil ‘Id, dan as-Subki, membolehkan penggunaan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.

Metode Hisab
a.Hisab Urfi
b. Hisab Hakiki
- Taqribi
- Tahqiqi
- Kontemporer

Saturday, April 14, 2012

Hisab Rukyah

Hisab Rukyah

Semula umat Islam hanya mengenal sistem rukyat  sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. 
Ketika ilmu hisab masuk dalam kalangan umat Islam pada abad 8 Masehi di masa Dinasti Abasiyah, maka mulai berkembang pemikiran untuk menggunakan hisab bagi penentuan awal bulan qamariyah. Dari dua sistem tersebut lahirlah perbedaan antara hisab dengan rukyat, perbedaan di dalam rukyat, dan perbedaan di dalam hisab.
Sistem rukyat melahirkan berberapa pendapat:
1. Pendapat yang mendasarkan pada ruang lingkup berlakunya rukyat, maka timbullah istilah: rukyat lokal, rukyat nasional, dan rukyat global.
2.   Pendapat yang mendasarkan pada ada atau tidak adanya persinggungan dengan hisab, maka timbullah: pendapat yang mendasarkan pada rukyat minus dukungan hisab dan pendapat yang mendasarkan pada rukyat plus dukungan hisab.
Sistem hisab melahirkan beberapa pendapat:

1. Pendapat yang mendasarkan pada adanya perbedaan metode hisab, yaitu:

a. Metode Hisab Urfi.
b. Metode Hisab Haqiqi Taqribi (disingkat Taqribi).
c. Metode Hisab Haqiqi Tahqiqi (disingkat Tahqiqi).
d. Metode Hisab Tadqiqi/’Ashri atau Kontemporer.

2. Pendapat yang mendasarkan pada kriteria awal bulan:

a. Pendapat yang mendasarkan pada Waktu Ijtima’.
b. Pendapat yang mendasarkan pada Wujudul Hilal.
c. Pendapat yang mendasarkan pada Imkanur Rukyat.
Meskipun terdapat keragaman, tetapi di dalam sejarah sejak zaman Sahabat hingga sekarang ternyata para khalifah, sultan, ulil amri menggunakan sistem rukyat sebagai dasar itsbat awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Sesuai dengan judul di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas pandangan NU tentang penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah.

NU (Nahdlatul Ulama) adalah Jam’iyah Diniyah Islamiyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Sebagai sebuah Jam’iyah Diniyah Islamiyah, sesuai dengan tujuan keberadaannya, NU berkewajiban untuk senantiasa mengamalkan, mengembangkan, dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang diyakininya, termasuk di dalamnya adalah penentuan awal bulan qamariyah khususnya yang ada hubungannya dengan ibadah, yakni bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Sikap NU tentang sistem penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah diambil melalui keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo (1984), Munas Alim Ulama di Cilacap (1987), Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi (1992), Seminar Penyerasian Metode Hisab dan Rukyat di Jakarta (1993), dan Rapat Pleno VI PBNU di Jakarta (1993), yang akhirnya tertuang dalam Keputusan PBNU No. 311/A.II.04.d/1994 tertanggal 1 Sya’ban 1414 H/13 Januari 1994 M, dan Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri (1999).

Keputusan PBNU tersebut telah dibukukan dengan judul “PEDOMAN RUKYAT DAN HISAB NAHDLATUL ULAMA”.

Menurut NU, penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada sistem rukyat sedang hisab sebagai pendukung.

Rukyat adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar rukyatulhailal; tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.

Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman, bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta’abbudiy. Ada nash al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah rukyat, yaitu QS. al-Baqarah:185 (perintah berpuasa bagi yang hadir di bulan Ramadhan) dan QS. al-Baqarah:189 (tentang penciptaan ahillah). Dan tidak kurang dari 23 hadits tentang rukyat, yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan lain-lain . Dasar rukyat ini dipegangi oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ittabi’in dan empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Rukyat atau pengamatan hilal akan menambah kekuatan iman. Pengamatan terhadap benda-benda langit termasuk bulan adalah bagian dari melaksanakan perintah untuk memikirkan ciptaan Allah agar lebih dalam mengetahui kemahabesaran Allah, sehingga memperkuat iman.

Rukyat mempunyai nilai ibadah jika digunakan untuk penentuan waktu ibadah seperti shiyam, ‘id, gerhana, dan lain-lain.

Rukyat adalah ilmiah. Rukyat atau pengamatan/penelitian/observasi terhadap benda-benda langit melahirkan ilmu hisab. Tanpa rukyat tidak akan ada ilmu hisab.
Sebagai konsekwensi dari prinsip ta’abbudiy, NU tetap menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li di lapangan, betapa pun menurut hisab hilal masih di bawah ufuk atau di atas ufuk tapi ghairu imkanir rukyat yang menurut pengalaman, hilal tidak akan kelihatan. Hal demikian ini dilakukan agar pengambilan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada sistem rukyat di lapangan yang tidak berhasil melihat hilal, bukan atas dasar hisab.
Rukyat yang diterima sebagai dasar adalah hasil rukyat di Indonesia (bukan rukyat global) dengan wawasan satu wilayah hukum NKRI. Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan hilal, maka hasil rukyat demikian ini menjadi dasar itsbatul aam yang berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.

Untuk mewujudkan rukyat yang berkualitas, maka NU menggunakan ilmu hisab dan menerima kriteria imkanur rukyat sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat.

Hisab sebagai pendukung rukyat. Bukan sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang dihasilkan oleh rukyat.

Ilmu hisab / ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan, dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu. Ilmu Hisab sebagai ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, maka berlaku ketentuan-ketentuan ilmu itu; artinya dapat berkembang terus menerus sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Pengamatan atau penelitian/observasi (rukyat) terhadap benda-benda langit terus menerus dilakukan oleh para ahlinya, sehingga berkembang pula ilmu hisab yang semakin tinggi tingkat akurasinya.

Dewasa ini di kalangan Umat Islam berkembang lebih dari 20 metode hisab (kitab hisab) yang dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: metode haqiqi Taqribi (disingkat taqribi), metode haqiqi tahqiqi (disingkat tahqiqi), dan metode Tadqiqi/’Ashri atau kontemporer.
Untuk mendukung proses pelaksanaan rukyat, maka NU memilih metode yang tingkat akurasinya tinggi agar memperoleh hasil yang berkualitas. Dalam konteks ini, NU pun menerima kriteria imkanur rukyat.

Kriteria imkanur rukyat hanyalah sebagai instrumen untuk menolak laporan adanya rukyatul hilal, sedangkan para ahli hisab telah bersepakat, bahwa hilal masih di bawah ufuq atau di atas ufuq tapi ghairu imkanir rukyat. Jadi kriteria imkanur rukyat tidak digunakan untuk menentukan awal bulan qamariyah. Jelasnya apabila menurut hitungan hisab bahwa hilal sudah imkanur rukyat, tetapi kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil dirukyat, maka penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas dasar istikmal. 
Jadi posisi ilmu hisab berikut kriteria imkanur rukyat bersifat ta’aqquliy sebagai sarana untuk mendukung proses penyelenggaraan rukyat.

Proses pengambilan keputusan yang diterbitkan oleh PBNU sehubungan dengan hasil rukyat untuk menentukan awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah melalui 4 tahap:
1.     Melakukan hisab awal bulan untuk membantu pelaksanaan rukyat dan untuk mengontrol keakurasian laporan hasil rukyat.
2.     Menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li di lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan di seluruh Indonesia.
3.     Melaporkan hasil rukyat dalam sidang itsbat yang diselenggarakan oleh Menteri Agama.
4.     Kemudian setelah ada itsbat dari pemerintah, maka PBNU mengeluarkan ikhbar sehubungan dengan itsbat tersebut untuk menjadi pedoman warga NU. Ikhbar PBNU dapat sejalan dengan itsbat pemerintah jika diterbitkan atas dasar rukyat. Jika itsbat tidak berdasarkan rukyat, maka PBNU berwenang untuk mengambil kebijakan lain.
Jadi PBNU tidak dalam kapasitas mengitsbatkan hasil rukyat. Hak itsbat ada pada pemerintah. Hak ikhbar ada pada PBNU.