Sunday, October 2, 2011

Hisab Awal Bulan

HISAB AWAL BULAN

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal”.
 (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
NU dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar.
Rukyat adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar rukyatul hilal; tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.
Hisab sebagai pendukung rukyat. Bukan sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang dihasilkan oleh rukyat.

Ilmuhisab / ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan, dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu. Ilmu Hisab sebagai ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, maka berlaku ketentuan-ketentuan ilmu itu; artinya dapat berkembang terus menerus sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Pengamatan atau penelitian/observasi (rukyat) terhadap benda-benda langit terus menerus dilakukan oleh para ahlinya, sehingga berkembang pula ilmu hisab yang semakin tinggi tingkat akurasinya.
Metode Hisab
Kendati sama rnengacu pada perhitungan siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi dalam implementasinya dikenal adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender qamariyah, yakni Hisab Urfi dan Hisab Hakiki.
a.Hisab Urfi
Dalam sistem Hisab Urfi, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di antara dua ijtimak yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini, maka satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik (354 11/30 hari).
Karena terdapat angka pecahan sebesar sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini membuat siklus 30 tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun Basitah (354 hari) dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem ini dibikin tetap, yakni 30 hari untuk bulan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (kecuali bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari).
Dengan sistem ini, awal bulan-bulan qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari yang sama. Tetapi karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka –dalam kerangka penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari'at sistem ini tidak banyak dianut oleh kaum muslimin.
b. Hisab Hakiki
Dalam sistem Hisab Hakiki, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan Bulan yang sebenarnya (hakiki). Karena itu, panjang masa yang berlalu di antara dua ijtimak berurutan (satu bulan sinodis) tidak selalu sama setiap bulan. Kadang hanya 29 hari lebih 6 jam dan beberapa menit, dan kadang sampai 29 hari lebih 19 jam dan beberapa menit. Berkaitan dengan ini, maka umur bulan yang selalu tetap seperti dalam Hisab 'Urfi tidak dikenal dalam sistem ini. Boleh jadi 29 hari berturut-turut, atau 30 hari berturut-turut.
Dalam praktiknya, sistem ini menyusun kalender dengan memperhitungkan posisi Bulan. Karena itu untuk penentuan waktu-waktu ibadah sistem Hisab Hakiki ini banyak dianut oleh kaum muslimin.
Berbagai metode hisab banyak dikembangkan pada alur sistem ini. Dari segi akurasinya, metode-metode hisab tersebut lazim dikategorikan menjadi tiga, yakni Taqribi, Tahqiqi dan Kontemporer.
Taqribi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya "kurang-lebih", yakni membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Metoda hisab Sullamun Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini.
Tahqiqi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Metoda hisab Badi'atul Mitsal, Khulashatul Wafiyah dan sejenisnya dihitung masuk dalam kategori ini.
Kontemporer sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan terbaru. Metoda hisab Jean Meus, Almanak Nautika dan sejenisnya dianggap masuk dalam kategori ini.
Selain hitungan hisab didasarkan pada metode tahqiqi dan tadqiqi, NU juga menerima haddu imkanir rukyah (kriteria visibilitas hilal). Kriteria imkanur rukyah ini digunakan untuk menolak laporan hasil rukyah, sedang secara astronomis ketinggian hilal ketika itu belum memungkinkan dirukyah. Tetapi imkanur rukyah tidak dijadikan sebagai penentuan awal bulan qamariyah.
Sistem hisab di indonesia.

-          Mengacu pada sistem hisab Haqiqi kontemporer yang berpedoman pada ufuk mar’i, menggunakan kreteria MABIMS
-          - Tinggi hilal minimum 20
-          - Jarak dari matahari minimum 30 atau
-          - Umur bulan dihitung dari saat ijtimak - saat matahari terbenam minimum 8 jam.

Perbedaan penentuan awal bulan qamariyah dengan sistem Hisab Hakiki mungkin saja terjadi, dan ltu setidaknya dapat dipulangkan pada tiga faktor.
-          Pertama, karena perbedaan akurasi perhitungan antara metoda-metoda hisab Taqribi, Tahqiqi, dan Kontemporer itu tadi.
-          Kedua, karena perbedaan pandangan mengenai acuan penentunya: apakah ijtimak (konjungsi) sebelum terbenam Matahari, atau posisi Bulan di atas ufuk secara mutlak, ataukah posisi Bulan di atas ufuk yang telah memenuhi syarat imkan rukyah (visible).
-          Ketiga, karena perbedaan posisi tempat di berbagai belahan Bumi (perbedaan matla').
Demikianlah. Wallahu A’lam.
Disampaikan dalam Acara
Pengkaderan Ulama Hisab Rukyah LFNU Cabang Sumenep
Sumenep, 25 Maret 2012
Oleh. Moh. Faqih