HISAB AWAL BULAN
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat
hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal”.
(HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809;
At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
NU dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan
Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, melalui empat tahap,
yaitu:
1. Tahap
pembuatan hitungan hisab
2.
Penyelenggaraan rukyatul hilal
3.
Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar.
Rukyat adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung
di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan;
apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1
bagi bulan baru atas dasar rukyatul hilal; tetapi apabila tidak berhasil melihat
hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam
berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.
Hisab sebagai
pendukung rukyat. Bukan sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya
awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang
dihasilkan oleh rukyat.
Ilmuhisab / ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan, dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu. Ilmu Hisab sebagai ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, maka berlaku ketentuan-ketentuan ilmu itu; artinya dapat berkembang terus menerus sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Pengamatan atau penelitian/observasi (rukyat) terhadap benda-benda langit terus menerus dilakukan oleh para ahlinya, sehingga berkembang pula ilmu hisab yang semakin tinggi tingkat akurasinya.
Metode Hisab
Kendati sama rnengacu pada perhitungan
siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi dalam implementasinya dikenal
adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender qamariyah, yakni Hisab Urfi
dan Hisab Hakiki.
a.Hisab Urfi
Dalam sistem Hisab Urfi, kalender
qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan mengelilingi Bumi,
yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di antara dua ijtimak
yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini, maka
satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik
(354 11/30 hari).
Karena terdapat angka pecahan sebesar
sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini membuat siklus 30
tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun Basitah (354 hari)
dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh
pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem
ini dibikin tetap, yakni 30 hari untuk bulan-bulan ganjil dan 29 hari untuk
bulan-bulan genap (kecuali bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30
hari).
Dengan sistem ini, awal bulan-bulan
qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari yang sama. Tetapi
karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka –dalam kerangka
penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari'at sistem ini tidak banyak dianut
oleh kaum muslimin.
b. Hisab Hakiki
Dalam sistem Hisab Hakiki, kalender
qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan Bulan yang sebenarnya (hakiki).
Karena itu, panjang masa yang berlalu di antara dua ijtimak berurutan (satu
bulan sinodis) tidak selalu sama setiap bulan. Kadang hanya 29 hari lebih 6 jam dan beberapa
menit, dan kadang sampai 29 hari lebih 19 jam dan beberapa menit. Berkaitan
dengan ini, maka umur bulan yang selalu tetap seperti dalam Hisab 'Urfi tidak
dikenal dalam sistem ini. Boleh jadi 29 hari berturut-turut, atau 30 hari
berturut-turut.
Dalam praktiknya, sistem ini menyusun
kalender dengan memperhitungkan posisi Bulan. Karena itu untuk penentuan
waktu-waktu ibadah sistem Hisab Hakiki ini banyak dianut oleh kaum muslimin.
Berbagai metode hisab banyak dikembangkan
pada alur sistem ini. Dari segi akurasinya, metode-metode hisab tersebut lazim
dikategorikan menjadi tiga, yakni Taqribi, Tahqiqi dan Kontemporer.
Taqribi menentukan derajat ketinggian Bulan paska
ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya "kurang-lebih", yakni
membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari.
Metoda hisab Sullamun Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan
sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini.
Tahqiqi menentukan derajat ketinggian Bulan paska
ijtimak dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Metoda hisab Badi'atul
Mitsal, Khulashatul Wafiyah dan sejenisnya dihitung masuk dalam
kategori ini.
Kontemporer sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan
derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data
astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan
terbaru. Metoda hisab Jean Meus, Almanak Nautika dan sejenisnya
dianggap masuk dalam kategori ini.
Selain hitungan hisab didasarkan pada
metode tahqiqi dan tadqiqi, NU juga menerima haddu imkanir rukyah (kriteria
visibilitas hilal). Kriteria imkanur rukyah ini digunakan untuk menolak laporan
hasil rukyah, sedang secara astronomis ketinggian hilal ketika itu belum
memungkinkan dirukyah. Tetapi imkanur rukyah tidak dijadikan sebagai penentuan
awal bulan qamariyah.
Sistem hisab di indonesia.
-
Mengacu pada sistem hisab Haqiqi kontemporer yang
berpedoman pada ufuk mar’i, menggunakan kreteria MABIMS
-
- Tinggi hilal minimum 20
-
- Jarak dari matahari minimum 30 atau
-
- Umur bulan dihitung dari saat ijtimak - saat
matahari terbenam minimum 8 jam.
Perbedaan penentuan awal bulan qamariyah
dengan sistem Hisab Hakiki mungkin saja terjadi, dan ltu setidaknya dapat
dipulangkan pada tiga faktor.
-
Pertama, karena perbedaan akurasi perhitungan antara metoda-metoda hisab Taqribi,
Tahqiqi, dan Kontemporer itu tadi.
-
Kedua, karena perbedaan pandangan mengenai acuan penentunya: apakah ijtimak
(konjungsi) sebelum terbenam Matahari, atau posisi Bulan di atas ufuk secara
mutlak, ataukah posisi Bulan di atas ufuk yang telah memenuhi syarat imkan
rukyah (visible).
Demikianlah.
Wallahu A’lam.
Disampaikan dalam Acara
Pengkaderan Ulama Hisab Rukyah LFNU Cabang Sumenep
Sumenep, 25 Maret 2012
Oleh. Moh. Faqih
Oleh. Moh. Faqih